Rabu, 06 November 2013

Launching Antologi Buku "A to Z by Request"

Halo, apa kabar semua? Sudah lama tidak bersua dalam blog ini. Hampir setahun lamanya kami tidak update hasil pertemuan dan tulisan. Tapi kami sekarang punya cerita yang luar biasa untuk dibagikan.

Sekitar bulan Agustus di tahun 2010, kami pernah melakukan sebuah pertemuan khusus untuk membicarakan dan mengeksekusi ide kami untuk membuat sebuah karya komunitas yang sudah ada dari tahun 2004. Karena kami adalah sebuah kumpulan penulis, maka kami memutuskan untuk membuat kumpulan cerita pendek. Sapta, salah satu dari kami, mengusulkan untuk menulis cerita yang terinspirasi dari abjad-abjad dari A hingga Z. Misalnya penulis menuliskan tentang catur ketika mendapatkan huruf L.

Kemasannya sudah terbayang yaitu seperti buku ini akan dibuat seperti kamus yang berisi urutan alfabet. Karena kami jumlahnya banyak dan demi asas keadilan, maka abjad dipilih secara random. Setiap gulungan kertas berisi huruf dimasukkan ke dalam sedotan lalu setiap orang memilih.


Enam tahun berdiri tentu banyak anggota datang dan pergi. Banyak pula yang sudah tidak berdomisili di Bandung. Oleh karena itu, para penulis yang jauh atau tidak bisa hadir saat pemilihan huruf diwakilkan oleh yang hadir. Karena dipilih secara acak, maka penulis harus terima-terima saja saat mendapatkan (terutama) huruf yang jarang digunakan seperti Q, W, X, atau Z. Kemudian proses penulisan berlangsung. Rizal muncul sebagai pilot project-nya.

Project ini sempat terendap dan terbengkalai. Proses pembuatannya pun ada saja kendalanya. Ada yang miskomunikasi sehingga ada yang harus keluar dari proyek, ada yang merasa tidak mampu mengejar jumlah kata kemudian mundur, atau ada yang sulit dihubungi. Setelah rampung pun karya ini masih berdiam diri, seolah-olah mobil yang kehabisan bahan bakar. Syukurlah, Farida memberi angin sangat segar bahwa Grasindo berminat dengan konsep antologi yang kami miliki.

Dengan proses yang relatif singkat, lalu lahirlah ia, anak pertama komunitas kami di bulan September 2013. Dengan nama A to Z by Request, ia dibandrol dengan harga Rp47.000 dan tersedia di toko buku besar seluruh Indonesia.


Kelahiran anak kami ini akan dirayakan pada 16 November 2013 di Gramedia Merdeka, Bandung. Acaranya akan dimulai pada pukul 14.00 hingga pukul 16.00. Kami, para penulis, akan sangat senang jika teman-teman mau meluangkan waktunya untuk datang dan berkenalan dengan buku antologi pertama kami, A to Z by Request, yang lahir dari kecintaan kami pada menulis.

Oh ya, di hari yang sama, kami akan melakukan wawancara di Raka FM 98.8 pukul 11.00. Untuk yang berada di luar kota, sila streaming.

Acara ini sama seperti hal yang kami percayai bahwa Reading Lights Writer's Circle adalah ruang terbuka untuk siapa saja. Reading Lights Writer's Circle adalah memfasilitasi, memberi, dan juga menerima.

Selasa, 13 November 2012

Cinta karena Biasa


Entah bagaimana menjelaskan hubungan saya dengan writer’s circle dalam satu kata:

Rumit?

KDRT?

Hampir enam tahun hubungan terjalin, kata ‘cinta’ tak pernah disebut. ‘Sayang’ menghilang. ‘Senang’ datang dan pergi.

‘Bosan’ berkali-kali ditelan, seperti pada hari itu.

***

Saat jam menunjukkan pukul tiga, Andika masih asyik di depan komputer, memeriksa keadaan Box Office Amerika akhir pekan itu. Ia ingin menonton Daniel Day-Lewis memerankan Presiden Lincoln. Ia ingin mengunduh trailer filmnya, tetapi sejam lagi writer’s circle. Andika menghela napas keras. Dari jendela ia melihat gumpalan awan gelap menggantung di kejauhan – turunnya hujan bukan lagi pertanyaan. Kalau mau nggak datang sebetulnya hari ini, batin Andika. Namun ia telanjur berjanji pada Farida akan datang hari itu. Sekali lagi Andika menghela napas, tetapi tak terlalu keras. Tanpa menunda lagi, ia segera mengambil … sapu.

***

Setiap hendak bepergian, ada prinsip yang selalu dipegang Andika: rumah ditinggal dalam keadaan rapi. Selimut mesti dilipat. Lantai paling tidak disapu. Jika ada piring dan peralatan dapur yang kotor maka harus dicuci. Ketika pulang, ia ingin kerapian dan kebersihan itu ‘memeluknya’.

Sebelum berangkat writer’s circle, ada banyak yang harus dilakukan Andika. Semalam ia baru menamatkan Great House, sebuah novel tentang orang-orang yang kakinya terantai masa lalu. Bangun kesiangan, ia lantas terlalu banyak bermalasan dengan laptop menyala di perut. Membaca berbagai penafsiran novel, kadang-kadang ia menyetujui pendapat beberapa kritikus. Kadang-kadang tidak. Andika membaca ulang, mencari poin-poin yang dilewatkannya, lama sekali. Lalu menentukan dan mengunduh bacaan selanjutnya. Setelah menamatkan novel dewasa, ia senang membaca novel anak-anak. Tahu-tahu hari sudah sore.

Setelah menyapu, masih ada piring, cangkir, dan wajan kotor masih menumpuk. Bekasnya sarapan, minum kopi, serta teh. (Ia ingat harus lebih banyak minum air putih.) Bekas Ibu menumis ikan, telur, dan tomat. Mencuci piring kelihatannya cepat, tetapi sering membuat terlena. Tahu-tahu waktu telah terulur panjang. Andika bergegas, Apa yang mesti dimasukkan? STNK, cek! Buku menulis, cek! Tempat pensil, cek! Laptop, cek! Oke, Semua siap? Siap? Di luar Andika memutuskan memakai sandal karena yakin akan hujan. Kaus kaki dan sepatu pun dimasukkan dalam tas yang kemudian dibungkus lapisan tahan air. Saat mengunci pintu, Andika meraba sakunya, lalu kembali ke rumah untuk mengambil dompet. Ketika keluar, ia teringat bahwa Nia mungkin datang, lalu mengambil kartu pos dari Marty dan Neni untuk dipamerkan. Kali ini Andika ingat menyalakan lampu teras, kalau-kalau belum ada yang pulang saat hari gelap. Setelah pintu terkunci, ia pun memicu motornya.

***

Antrian sirkus, bioskop, maupun wahana di Dufan mungkin menyenangkan. Di ujungnya ada sesuatu yang diinginkan dan menunggu membuat sesuatu itu semakin istimewa. Cukup membuat Andika tertegun menyadari hanya ada writer’s circle di ujung antrian panjang kendaraan di Perempatan Pahlawan. Hanya writer’s circle terdengar berlebihan. Sebetulnya tak ada yang salah dengan writer’s circle, selain ia merasa terlalu sering melakukannya. Seperti makanan kesukaan yang dimakan terlalu sering dalam jangka waktu panjang. Ketika ia sudah hapal rasa makanan sebelum melahapnya, makanan itu kehilangan keistimewaannya. Beberapa pertemuan lalu Andika bersukarela menulis jurnal writer’s circle, tetapi sejumlah percobaaan mandek di tengah-tengah lantaran ia merasa apa yang dilaluinya biasa.

Ia tak kepingin menulis hal serupa terus-menerus.

***

Ketika gerimis pertama mendarat, Andika telah terlepas dari kemacetan. Motor-motor berseliweran di samping kiri dan kanan. Mungkin tak seorangpun yang mau kehujanan. Langit gelap, tujuan masih jauh, Andika menepi dan memakai jas hujan. Gerimis sempat berhenti, tetapi di Jalan Surapati hujan turun deras dan semakin deras. Angin bertiup kencang, secara kasat mata membelokkan jatuhnya air. Jarak pandang semakin menurun. Motor-motor menepi. Mobil-mobil menyalakan lampu darurat. Jalan raya mulai dilalui juga arus air, sampai ke tengah. Kalau mau nggak datang, sebetulnya hari ini, pikir Andika. Namun ia tetap melaju. Cepat sekali ia berubah pikiran. Hujan angin membuat toko buku Reading Lights terasa begitu … jauh. Begitupun ingatan akan interaksi dengan Dani, Ririe, serta para peserta reguler writer’s circle lainnya. Bersamaan dengan merembesnya air ke dalam jas hujan, muncul juga kata ‘kangen’. Pelupuk mata Andika mulai terasa hangat. Ketika sulit mencapai writer’s circle, tiba-tiba satu-satunya keinginannya adalah berada di dalam lingkaran itu.

Mencapai jalan layang Pasupati, Andika urung naik karena khawatir di atas angin makin keras. Ia lurus dan berbelok ke Jalan Ir. H. Juanda, lalu menyadari itu keputusan yang salah.

Jalan raya sudah berubah menjadi sungai deras.

Mobil dan motor mengantri. Namun antrian tidak bergerak maju untuk waktu cukup lama. Andika ingin mematikan mesin motor, tetapi takut tidak bisa menyala lagi. Asap-asap putih menguar dari kendaraan. Permukaan air semakin lama semakin tinggi dan arusnya makin deras. Di bahu jalan lebih tinggi dan deras. Andika gigit jari. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Gelombang air besar. Pohon tumbang. Jika sedang ada laki-laki yang disukainya, Andika yakin akan menyerukan namanya keras-keras supaya mendapat kekuatan. Namun tidak ada. Andika mematikan motornya, meminta pengendara motor di sebelahnya mundur sedikit supaya ia bisa lewat. Dan bisa. Kini tinggal memarkir di pelataran Evieta Klappertart yang permukaannya tak tersentuh air, tetapi arus di lajur kiri yang deras membuat motornya sulit dikendalikan, seperti didorong tanpa henti. Andika maju sambil menekan pedal rem … dan berdoa. Untungnya motor naik ke permukaan aman dengan selamat. Andika mencoba menyalakan mesin … dan bisa.

***

Andika meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Trotoar jalan tertutup gelombang air. Masih ingat cerita pejalan kaki yang hilang ditelan lubang trotoar? Andika masih.
Ia berjalan, sesekali melompat, di antara-taman-taman di samping trotoar yang berubah wujud seperti pulau-pulau kecil. Pelan-pelan hujan berhenti, tetapi di darat air masih deras. Antrian mobil berujung di SMA 1, sebuah mobil di urutan terdepan berhenti karena mesin mati. Di jembatan penyeberangan seorang perempuan memotret barisan mobil di bawahnya. Andika ikut naik. Di satu sisi mobil-mobil mengantri, di sisi lain air mengalir ke bawah. Tahun 2004-2006, Andika bersekolah di SMA 1, tetapi tak pernah mengalami banjir seperti ini. Tapi Bung ini tahun 2012. Ketika esok harinya googling, ia baru tahu belakangan banjir separah itu memang kerap terjadi.

Setelah memarkir motor, langkah dan perasaan Andika semakin ringan. Ia merasa kemungkinannya bertemu writer’s circle justru meninggi. Di depan ITB, hujan tinggal gerimis. Andika mulai berjalan sambil bersenandung. Ketika bertemu tukang gorengan, ia membeli dua tahu, dua cireng, dan satu tempe yang dimakannya duluan. Langkahnya terhenti lagi ketika bertemu tukang batagor.

***

Jelang pukul enam, Andika sampai di toko buku Reading Lights. Di ruang belakang, Farida menyentuh jaketnya, “Ini air?! Ini minum yang anget-anget dulu.” “Wah, wah,” Dani berkomentar, “Coba dilepas dulu. Kentang gorengnya habisin saja.” “Hahaha, itu kan punya Sapta,” timpal Ririe. “Ini minum, teh gua. Jumbo, lho.” Andika pun menuruti semua ucapan itu.

***

“Jadi tema menulisnya apa?” tanya saya.

“Cinta karena biasa,” jawab Ririe.

“Oh, ya?”

Sejenak saya diam sambil mengeluarkan barang-barang dari tas yang basah. Cinta karena biasa, pikir saya. Di buku menulis yang setengah halamannya basah dirembesi air, saya mulai menuliskan cerita hubungan saya dengan writer’s circle.

***

Andika Budiman

PS: Saya bersukarela menulis jurnal pada tema Depth of Field yang difasilitatori oleh Indra. Sayangnya jurnal itu tidak kesampaian dengan alasan writer’s block. (“Deuu!”) Setelah minggu itu sebetulnya writer’s circle tetap berlangsung meskipun tak tercatat dalam jurnal, temanya berturut-turut sebagai berikut: mendeteksi satu cerita jujur di antara dua cerita bohong, menulis berdasarkan sampul buku pilihan, menulis cara-cara kurang menyenangkan untuk mati, menulis cerita tentang berpisah untuk kembali, menulis kartu pos untuk peserta di sebelah kita, dan menulis cerita dari situasi tidak mungkin.

Minggu, 16 September 2012

Ringkasan dan Adegan


Dari buku Writing Fiction karya Janet Burroway, Indra--fasilitator writer's circle hari Sabtu (15/9)--memilih ringkasan (summary) dan adegan (scene) sebagai latihan menulis. Para penulis diminta untuk melakukan flashback yang berhubungan dengan setting tempat dan waktu yang diingat secara spesifik seperti pekerjaan, tradisi keluarga, dan lainnya. Misalnya ringkasan dari cerita adalah main di sawah saat berlibur ke rumah kakek lalu adegannya adalah ketika digigit ular saat berada di sawah.

Penulis pertama yang membacakan karyanya adalah Opie yang buru-buru karena akan menonton video mapping di Gedung Sate. Opie menulis ringkasan mengenai ia dan teman-teman kuliahnya yang merencanakan liburan. Dari berbagai tempat, akhirnya mereka mereka memutuskan pergi ke Ujung Genteng. Kemudian adegan ditarik saat hubungan ia dan salah satu temannya menjadi renggang. Jurang yang diantara mereka berdua terus  berlangsung hingga mereka lulus dan bekerja.

Kemudian saya meminta diri untuk membacakan karya saya selanjutnya. Ringkasan yang saya tulis adalah ketika saya berlibur ke Sorong, Irian Jaya. Adegan spesifiknya adalah ketika saya dan teman-teman dikejar burung kasuari.

Ini dia penampakannya

Indra bercerita tentang pengalaman saat ia berada di Jakarta ketika masih duduk di bangku kelas 3 SD sebagai ringkasan ceritanya. Kemudian adegan yang ia tulis adalah saat ia dikerjai oleh teman-teman perempuannya dimana ia didandani seperti perempuan dan dipaksa rambutnya agar lurus. Wangi bedak, baby oil, dan suara tinggi khas perempuan pun menjadi detil ceritanya. Jakarta, baginya, sama seperti perempuan: tidak pernah sama.

Sementara Belinda, teman baru kami, bercerita tentang tokoh yang menulis puisi yang terinspirasi dari bungkus permen. Tokoh mengingat dimana ada seorang nenek yang memberi permen kepada seorang anak yang kemudian anak itu mengeluh karena permennya pahit. Belinda menjelaskan di akhir tulisan bahwa "tidak semua yang menarik itu enak".

Dilanjut Rizky, ia menulis ringkasan tentang seorang tokoh yang ada di food court yang memilih mojok sendiri dan mendengar musik di iPod. Tokoh adalah tipe orang yang mudah terusik dengan orang-orang yang berisik. Adegannya adalah ketika seorang teman datang dan menyuruh tokoh untuk mencoba bergabung dengan teman-teman lainnya. Akhir cerita Rizky ini menimbulkan perdebatan panjang diantara kami tentang open ending dengan ending yang menggantung. Mungkin bisa jadi PR pertemuan selanjutnya.

Ringkasan mengenai seorang tokoh "aku" yang berada di rumah sakit ditulis oleh Dani. Di sana, si "aku" ditemani oleh Arin, gadis tercantik di kelas. Saat tokoh siuman, ia bingung mendapati dirinya berada di rumah sakit dengan perut yang terasa sakit. Ternyata kejadian sebelumnya adalah teroris menyandera anak-anak sekolah lalu si "aku" melindungi Arin dari bom sehingga organ dalamnya memar dan ginjalnya rusak.

Sebagai penutup, Marty menulis ringkasan saat ia berada di Reading Lights. Saat akan buka puasa, seorang staf Reading Lights mengingatkannya untuk berhati-hati agak kertas penutup kuenya tidak termakan. Karena kesal, tokoh sempat mengeluh dalam hati bahwa ia bukan pemakan kertas. Tahunya benar saya, si tokoh tidak sengaja memakan kertas kue. Kontan ini membuat si tokoh malu sendiri.

Latihan menulis kali ini begitu membantu penulis untuk menuliskan satu adegan/kejadian spesifik dari sebuah cerita yang cukup besar. Agar adegan terasa fokusnya, penulis bisa menuliskan detil setting seperti apakah saat itu hari sedang hujan, bagaimana detil tempatnya, bagaimana setting waktunya (pagi/siang/sore/tahun beraapa), dan lainnya. Selain setting, penulis juga bisa menambahkan dialog agar lebih lancar peceritaannya.



Nia Janiar. Pekerja swasta yang bolak-balik Bandung-Jakarta. Kini lebih banyak menulis non fiksi ketimbang fiksi. Untuk lihat catatan kesehariannya, sila berkunjung ke: http://mynameisnia.blogspot.com/

Selasa, 26 Juni 2012

Emosi Dalam Cerita

Emotion: an affective state of consciousness in which feelings are experienced.

Emosi adalah tema menulis di RLWC pada tanggal 23 Juni 2012.

Adalah saya yang membawa tema ini setelah beberapa minggu absen dari kegiatan menulis bersama. Tema ini berawal dari obrolan saya dengan seorang kawan yang menulis naskah teater; baginya, berbeda dengan karya fiksi tertulis, tantangan membuat naskah teater adalah membangun karakter dan mood yang spesifik dengan keterbatasan waktu dan ruang panggung pementasan.

Saya sadar, penulis cerita fiksi punya lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan karakter cerita dibandingkan penulis naskah teater atau penulis skenario film. Hal ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Anugrahnya, penulis cerita fiksi punya lebih banyak cara untuk menyampaikan ceritanya. Kutukannya, kebebasan bisa membuat penulis terjebak untuk “mengatakan” ketimbang “menunjukkan”. Padahal, tentu saja, berbeda dengan karya tulis ilmiah, karya tulis fiksi tidak hanya berisi fakta-fakta yang “dikatakan”, melainkan juga mood, emosi, yang harus dirasakan dan dialami, bukan dikatakan.

Tujuan saya memilih emosi sebagai tema kali ini adalah agar penulis bisa berlatih dan belajar menciptakan mood sesuai dengan penghayatan emosi si tokoh. Tantangannya dengan tema ini, tentu saja, adalah membawa pembaca untuk ikut merasakan perasaan sang tokoh cerita; sesuatu yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan “mengatakan” apa yang sedang sang tokoh rasakan.

Untuk latihan kali ini, saya menggunakan 6 emosi dasar dari artikel di Wikipedia. Tiga di antaranya bersifat positif: happiness, excitement, dan tender; tiga lainnya bersifat negatif: sadness, anger, dan fear. Melalui kertas undian, masing-masing penulis mendapatkan satu jenis emosi secara acak dan kemudian menuliskan cerita dengan upaya membawa pembaca untuk merasakan emosi sang tokoh utama.


Source: Wikipedia

Saya yang pertama kali membacakan cerita. Cerita dibuka dengan “aku” yang sendirian, mabuk-mabukan sejak menerima e-mail perpisahan dari orang yang dikasihinya. Ia terus-terusan minum untuk melupakan semua kenangan yang kini menyakitkan, dan ia ingin menjadi tiada. Emosi yang coba saya bangkitkan adalah sadness, yang saya bangun melalui penghayatan ruang (ruangan kosong dengan botol-botol bir yang kosong), kenangan-kenangan manis yang sudah berlalu, serta penggunaan objek metafora (mendung yang menjelma hujan). Penulis lain bisa dengan mudah menebak bahwa emosi dasarnya adalah sadness. Andika berkomentar bahwa kesan sadness bisa diperkuat lagi jika saya memasukkan benda-benda yang bermuatan kenangan dan bukan hanya kenangan-kenangan manis yang bersifat general saja. Saya setuju dengan masukan Andika, bahwa objek-objek yang bermuatan emosi bisa digunakan untuk menggambarkan emosi (bahkan bisa dibilang ini salah satu cara yang paling kuat).

Berikutnya adalah Indra, yang bercerita tentang Panca, seorang pemuda penggangguran yang masih tinggal dengan ibunya. Sepanjang cerita Panca tampak menyembunyikan banyak kebohongan; ia berbohong sudah shalat, dan ia berbohong tentang kelulusannya, karena pada kenyataannya ia di-DO. Dalam cerita ini ada adegan di mana sang ibu dan Panca berdebat, karena sang ibu peduli pada masa depan anaknya sementara Panca sendiri merasa tidak nyaman dengan keingintahuan ibunya. Sebenarnya, Indra mendapatkan emosi tender, yaitu emosi positif yang tenang seperti cinta kasih atau ketulusan. Namun Indra sendiri salah memaknai emosi tender (yang ia maknakan sebagai emosi negatif). Lepas dari tepat tidaknya penggambaran emosi tender dalam cerita ini, saya tertarik dengan cara Indra menggambarkan guilt, yang sebenarnya juga termasuk emosi dasar namun tidak digunakan dalam latihan menulis kali ini. Selain membuka kebohongan-kebohongan Panca secara naratif, Indra juga mampu menampilkan rasa bersalah (guilt) Panca melalui dialog dengan ibunya. Saya belajar bahwa  emosi/mood pun bisa dibangun melalui dialog. Beberapa pendengar yang lain juga mengatakan bahwa mereka bisa merasakan tender dari kepedulian ibunya, meskipun menurut saya emosi tender ini hanya jadi bagian kecil dari cerita.

Setelah Indra, ada Nia yang berinisiatif bercerita tentang Raya, yang diam-diam membolos sekolah untuk membeli sebuah buku langka dari seorang kenalannya, untuk melengkapi koleksi bukunya di rumah. Setelah adegan menyelinap-menyelinap supaya tidak ketahuan, Raya berhasil meletakkan buku tersebut di jajaran koleksinya dan “tubuhnya mengembang”. Emosi yang Nia coba tunjukkan adalah happiness. Di sini Nia melakukan penggambaran melalui media yang belum digunakan oleh saya dan Indra, yaitu penghayatan tubuh (“tubuhnya mengembang”). Saya sendiri merasa yang lebih banyak diangkat dalam cerita ini adalah excitement, melalui adegan-adegan menyelinap dari orangtua demi mendapatkan buku itu, namun penggunaan penghayatan tubuh itu cukup berhasil menggambarkan happiness. Andika menambahkan bahwa untuk memperkuat emosi happiness-nya, mungkin bagian akhir cerita (ketika koleksi bukunya lengkap dan tubuhnya mengembang) bisa dijadikan awal. Saya setuju dengan Andika; mungkin cara itu bisa membuat emosi dominan di cerita ini menjadi happiness.

Setelah berkomentar, Andika membacakan ceritanya. Tokohnya bernama Doni, yang bertemu kembali dengan teman lamanya di suatu pementasan. Sepanjang pementasan ia menjadi lebih aware dengan pakaian yang dikenakannya, merasakan kursi menjadi panas, dan mulai berkeringat di selangkangan. Namun setelah pementasan itu mereka tidak lagi saling berhubungan, sehingga Doni menjadi harap-harap cemas. Dika sendiri mencoba menggambarkan excitement, namun saya merasa maknanya menjadi rancu dengan anxiety, yang lebih dekat dengan fear. Lepas dari perdebatan mengenai excitement atau anxiety, saya suka dengan cara Andika yang menggambarkan emosi tokoh melalui penghayatan tubuh, mirip dengan Nia (meskipun banyak yang mempertanyakan perihal keringat di bagian selangkangan).

Setelah Andika, Sabiqlah yang membawakan cerita tentang “aku”, seorang siswa SMA yang kecewa karena saat datang ke sekolah, teman-temannya tidak menyiapkan pesta kejutan untuknya karena sedang fokus dengan UN. Emosi dasarnya adalah anger, dan hal ini mudah ditangkap oleh para pendengar yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan dialog batin sang “aku”, yang memberikan alasan-alasan mengapa ia kecewa. Catatan tambahan dari Indra, ternyata emosi dasar anger pun bisa disampaikan secara lucu. Artinya, emosi dasar masih bisa tersampaikan dengan baik, seperti apa pun genre ceritanya (dalam hal ini saya pikir cerita Sabiq bersifat komikal).

Berikutnya, Cesar memulai ceritanya dengan kepanikan di sana-sini. Seorang wanita bingung harus lari ke mana, akhirnya memilih diam dan bersembunyi, berharap akan selamat, namun akhirnya ia terkena “hujan kelamin”. Terma “hujan kelamin” sendiri sudah membuat cerita Cesar menjadi salah satu cerita yang paling diingat dalam sesi ini. Lepas dari terma “hujan kelamin” yang fenomenal itu, Cesar cukup bisa membangun emosi fear dengan menunjukkannya melalui perilaku sang wanita, yang berlari, lalu bersembunyi, dan menjambaki rambutnya sendiri dalam persembunyiannya. Menurut saya, emosi fear bisa terbangun lebih kuat bila Cesar membuat karakter utama yang bisa diidentifikasi oleh dari awal cerita dan bukan hanya menciptakan setting tanpa karakter yang spesifik.

Setelah Cesar, Almer bercerita tentang tokoh aku yang mengumpat karena terus-terusan diumpati kakaknya, karena membawa makanan yang tidak enak. Seperti cerita Sabiq, tidak sulit juga menangkap emosi dasar anger dari cerita ini. Almer menunjukkannya dengan dialog batin berupa umpatan, maupun pemberian motif yang menjelaskan perasaan “aku”.

Sebagai penutup, Farida membawakan cerita yang cukup panjang. Tokoh utamanya adalah Tono, yang mulai mengamati ritual aneh orangtuanya setiap malam. Dari obrolan dengan temannya, Ari, Tono tahu bahwa akan ada yang datang ke desa, dan akan ada anak yang hilang, seperti kakak Tono dulu. Malamnya, Tono sulit tidur. Ia melihat pohon rambutan berbayang-bayang, mendengar suara derak jendela, dan jantungnya menggedor-gedor, sebelum kemudian ia mendengar suara kakaknya, dan gelap. Dituturkan dengan gaya horror/thriller klasik, mudah sekali bagi pendengar untuk merasakan fear. Dalam hal ini Farida menggunakan cara bertingkat untuk membangun mood yang kuat, mulai dari ritual-ritual orangtuanya, foreshadowing (obrolan dengan Ari bahwa akan ada anak yang hilang), penghayatan objek/metafora (pohon bambu, kuburan, pohon rambutan yang berbayang-bayang, jendela yang berderit), dan penghayatan tubuh (jantung yang menggedor-gedor). Sedikit catatan saja dari saya: penggunaan pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan yang berbayang-bayang bisa menjadi lebih kuat jika Farida tidak menambahkan keterangan tambahan (pohon bambu dan kuburan membangkitkan imaji-imaji di kepalanya). Tanpa harus “dikatakan”, pohon bambu, kuburan, dan pohon rambutan sudah cukup kuat untuk menimbulkan imaji yang kuat di benak pembaca.

Dari sesi menulis kali ini, saya dan teman-teman banyak mempelajari hal baru untuk menggambarkan dan membangun emosi dalam cerita. Di antaranya yang ditampilkan dalam cerita-cerita yang ditulis dalam sesi ini adalah:

  1. Penghayatan ruang (mis. Kosong, penuh, lepas, gelap)
  2. Penghayatan objek/pemanfaatan objek sebagai metafora (mis. Botol bir, awan, hujan, pohon, makam)
  3. Penghayatan tubuh (mis. Kesadaran penampilan, perasaan mengembang, degup jantung), atau perilaku (mis. berlari, bersembunyi, menjambaki rambutnya sendiri)
  4. Dialog (antar tokoh atau dialog batin), yang biasanya dipadukan dengan motif (bagaimana tokoh diperlakukan orang lain, alasan mengapa tokoh merasa suatu emosi tertentu)
  5. Foreshadowing (khususnya untuk fear/anxiety).
Andika dan Indra menambahkan ada beberapa teknik lain yang bisa dipakai, di antaranya:

  1. Irama/pace (panjang-pendek kalimat untuk membangun ketegangan), yang saya pikir bisa diperluas menjadi penghayatan waktu (mis. Ingin cepat-cepat besok, waktu berlalu sangat lambat, waktu berlalu sangat cepat, tidak ingin saat ini berakhir).
  2. Penggunaan huruf vokal dominan. Andika menerangkan bahwa dalam puisi penggunaan vokal “a” lebih identik dengan emosi seperti happiness sementara vokal “i” lebih identik dengan emosi sadness. Penggunaan konsonan tertentu juga bisa membangkitkan emosi tertentu misalnya “r” untuk anger, atau bahwa “a” lebih sesuai dengan emosi aktif (anger, happiness, excitement) sementara “i” lebih sesuai dengan emosi pasif (tender, sadness, fear)... tapi ini hanya hipotesis saya pribadi :D
Dengan pembahasan tentang cara-cara menggambarkan emosi berakhir pula pertemuan sesi ini. Apakah ada cara menggambarkan emosi yang terlewat oleh kami? Silakan di-share dengan kami :)



Rizal Affif. Di luar tugas-tugasnya sebagai freelance HR consultant, ia menghabiskan waktunya untuk blogging, menulis novel, dan bersepeda gunung. RLWC adalah salah satu kesempatannya menyegarkan diri di sela-sela kesibukannya menilai para calon manajer untuk menghidupi dirinya. Ia baru saja meluncurkan Harmoniselife (www.harmoniselife.com), sebuah blog  mengenai gaya hidup natural, serta sedang berusaha merampungkan novel perdananya di sela-sela kesibukannya.

Selasa, 05 Juni 2012

Luka yang Kusembunyikan

Penyakit yang berbintil-bintil menyerupai jengger ayam ini tidak akan kubilang siapa-siapa selain dokter, Tuhan, serta istriku yang sudah mengetahuinya. Waktu itu ia menjerit kemudian bersumpah serapah jijik melihatnya. Ia juga menuduhku sudah bermain kotor dengan perempuan lain sehingga aku mendapatkan penyakit ini. Tidak, tidak ada yang tahu selain kami berempat.

Tapi rupanya yang memiliki penyakit memalukan seperti ini tidak hanya aku, teman-temanku yang lain memilikinya. Atau jika bukan penyakitnya, tetapi latar belakang penyakit atau kejadiannya cukup memalukan. Aku tahu kisah orang-orang itu dari teman-temanku yang menuliskannya. Misalnya Andika Budiman yang bercerita tentang Tono, bocah berusia 7 tahun, yang memutuskan disunat karena alasan yang sangat infantil--ia ingin mendapatkan hadiah dari orang tuanya. Walaupun ia harus mengalami sakit terutama saat pergantian perban atau saat kepala penis yang agak basah menempel di celananya.

Atau Farida Susanty yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Anto yang datang ke sekolah dengan keadaan babak belur di wajah dan kaki. Ia bercerita bahwa ia dipukuli geng motor karena ada salah satu perempuan dari sekolah tetangga yang menyukai Anto. Tetapi yang mengetahui sebenar-benarnya cerita Anto hanyalah Rino. Rino tahu bahwa Anto berbohong. Ia mengalami luka-luka karena karena lupa menurunkan kedua kakinya saat motornya berhenti di lampu merah.

Selain itu ada Dani yang bercerita tentang Haris yang memiliki luka di kelapa yang cukup besar sehingga harus di perban. Dengan modus yang hampir sama dengan cerita Farida, Haris berkata bohong pada orang-orang yang menanyakan perihal lukanya. Padahal sebenarnya Haris terkantuk layar monitor saat ngantuk. Aku sempat bertanya perihal dimana rasa malunya (karena kupikir ini tidak lebih memalukan dariku yang memiliki jengger), lalu Dani menjawab bahwa hal seperti itu cukup memalukan untuk anak-anak IT.

Lalu temanku satu lagi, Almer, mencoba bercerita namun ceritanya tidak selesai. Intinya ia akan bercerita tentang seorang ksatria yang mengembara dengan luka menganga. Sementara itu Rizky bercerita tentang kisah yang agak-agak surealis (sehingga aku agak kurang mengerti). Tanda surealis ini terlihat ketika ia bercerita tentang seseorang yang memiliki luka di dahi yang semakin lama semakin membesar dan tidak bisa ditutupi oleh perban. Rupanya Rizky menarik garis yang jauh kepada sebuah pemaknaan seseorang tentang luka yang memalukan: semakin malu terhadap luka, maka seseorang akan merasa semakin besar lukanya.

Ah, lega juga menyadari bahwa aku tidak sendiri. Oh ya, kalau mau tahu ceritaku, bisa dilihat di sini. Oh, akhirnya yang tahu tidak kami berempat lagi.


- Harri